Saturday, June 20, 2015

Perbedaan Individu dalam Pembelajaran Bahasa Asing

1.      Pendahuluan
Penelitian terhadap pembelajaran bahasa asing telah banyak dilakukan. Meskipun dalam penelitian-penelitian tersebut banyak yang membuktikan keefektifan berbagai model pembelajaran namun tidak ada satu model pun yang efektif diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya variable dalam pembelajaran bahasa, salah satunya adalah perbedaan individu.
     Setiap pemelajar itu unik dan memiliki karakternya sendiri-sendiri. Hal inilah yang menyebabkan hasil penelitian di tempat A belum tentu dapat diterapkan di tempat B. Sudah banyak juga penelitian mengenai perbedaan individu ini dan kesulitan yang dialami peneliti kebanyakan adalah mereka sulit untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi faktor perbedaan individu. Ellis (1985) berpendapat bahwa mengidentifikasi dan mengklasifikasi faktor perbedaan individu ini telah menjadi sesuatu yang problematik karena sangat sulit untuk mengobservasi kualitas secara langsung seperti aptitude, motivasi dan keinginan.
     Dalam proses pembelajaran, seorang pengajar harus memperhatikan perbedaan individu dengan baik sebab hal ini dapat mempengaruhi metode dan teknik yang akan digunakan. Idealnya, pengajar harus dapat merancang kegiatan pembelajaran sedemikian rupa agar dapat mengakomodasi seluruh perbedaan pelajarnya. Walaupun hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan karena diperlukan kepekaan dan pengalaman yang memadai. Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai perbedaan individu wajib diketahui oleh pengajar.
      
2.      Perbedaan Individu dalam pembelajaran bahasa
Ellis (1985) membedakan perbedaan ini menjadi dua yaitu faktor personal dan faktor umum. Faktor personal meliputi dinamika kelompok, sikap terhadap pengajar dan bahan ajar, dan teknik belajar individual. Sedangkan faktor umum meliputi umur, kecerdasan dan ketangkasan, cognitive-style, sikap dan motivasi, dan kepribadian. 
a.       Faktor Personal
Faktor personal ialah faktor pembeda yang berasal dari dalam diri pemelajar. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh yang besar untuk menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran bahasa asing. Faktor personal dapat dikelompokkan menjadi tiga grup, yaitu dinamika kelompok, sikap, dan teknik belajar.

1.      Dinamika Kelompok
Dalam faktor personal, dinamika kelompok berperan penting dalam proses pembelajaran bahasa asing. Beberapa pelajar akan melakukan perbandingan antara dirinya dengan pelajar lain sehingga rasa kompetitif pun akan muncul. Dalam hal ini, Bailey (dalam Ellis, 1985) berpendapat bahwa self-image dari pelajar (yang diperoleh dari rasa kompetitif) dapat menentukan penurunan atau peningkatan dalam pemerolehan bahasa asing. Jika self-imagenya tidak sukses, maka akan muncul dua kemungkinan. Pertama, pelajar merasa gagal dan usahanya untuk belajar akan menurun. Kemungkinan kedua ialah pelajar akan semakin termotivasi untuk memperbaiki kesalahannya dan lebih meningkatkan kemampuan dirinya. Jika self-imagenya sukses, pelajar akan memiliki pengalaman yang positif sehingga mereka akan melanjutkan usahanya atau bahkan meningkatkan usahanya agar menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dinamika grup akan membuat pelajar menilai kemampuannya sendiri dan berlomba untuk menjadi yang terbaik di dalam kelas.
2.      Sikap Pemelajar terhadap Pengajar dan Bahan Ajar
Sikap pemelajar terhadap pengajar dan bahan ajar juga dapat berpengaruh terhadap proses belajar bahasa asing bahkan pada hasil pencapaiannya. Seorang pelajar akan merasa lebih nyaman belajar jika ia diajar oleh orang yang ia sukai. Ketika itu, proses belajar menjadi lebih efektif dan materi ajar akan dapat tersampaikan dengan baik. Hal ini akan perpengaruh terhadap hasil belajar pelajar. Begitu pula dengan materi ajar, ketika pelajar sudah tidak menyukai materi tersebut maka ia akan memasang filter sehingga proses belajar menjadi kurang efektif.
3.      Teknik Belajar
Faktor personal yang terakhir adalah teknik-teknik belajar yang digunakan oleh pelajar. Teknik belajar yang mereka gunakan sangat beragam. Ellis (1985) mengelompokkan teknik belajar ini menjadi dua, yaitu mempelajari bahasa dan memperoleh bahasa. Mempelajari bahasa maksudnya adalah pelajar menggunakan teknik yang biasa ia gunakan untuk belajar seperti menghafal, latihan (drilling), mempersiapkan sesuatu, dan lain sebagainya. Sedangkan memperoleh bahasa adalah pelajar berusaha untuk terjun langsung ke dalam situasi dimana bahasa target digunakan. Contohnya seperti berkomunikasi langsung dengan penutur asli, menonton film atau mendengarkan musik yang menggunakan bahasa target dan pergi ke negara yang menggunakan bahasa target. Semua itu dilakukan agar mereka dapat memperoleh bahasa yang diinginkan bukan dengan cara belajar. Hal yang perlu diperhatikan adalah pelajar perlu mengenali gaya belajarnya sendiri agar dapat memperoleh hasil belajar yang optimal. 
Schumann & Schumman (dalam Ellis, 1985) berpendapat bahwa faktor personal merupakan faktor yang sulit untuk diobservasi oleh orang ketiga. Oleh sebab itu, faktor personal hanya bisa dikaji dengan dua cara, yaitu menggunakan diary studies dan menggunakan kombinasi antara kuesioner dan wawancara kepada pelajar secara langsung.

b.     Faktor Umum
Lain halnya dengan faktor personal, faktor umum bersifat agak sedikit lebih universal. Berikut ialah faktor umum yang memperngaruhi proses belajar bahasa:
1.     Umur
Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa asing, ada perdebatan yang menarik mengenai di umur berapakah seseorang harus belajar bahasa asing agar mencapai hasil yang optimal. Banyak yang berpendapat bahwa anak-anak adalah masa yang tepat karena terdapat periode kritis (critical period) pada masa anak-anak. Periode kritis adalah masa ketika otak dapat mencerna bahasa dengan baik.  Akan tetapi, jika dikaitkan dengan pembelajaran bahasa kedua/asing (L2), anggapan bahwa L2 akan sukses dipelajari pada periode kritis masih belum pasti kebenarannya. Maka dari itu, hipotesis ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa orang dewasa akan lebih baik dalam belajar bahasa. Berkaitan dengan pembelajaran bahasa kedua/asing, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak akan lebih baik dalam pelafalan dan kemampuan menyimpan memori (Hurd, 2006) sedangkan orang dewasa yang memiliki kematangan kognitif akan lebih baik jika berurusan dengan sifat bahasa yang abstrak (Taylor dalam Hurd, 2006).

2.     Kecerdasan dan Ketangkasan
Kecerdasan memberikan pengaruh terhadap proses belajar bahasa tetapi tidak dominan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Genesee (1976, dalam Lightbown & Spada, 2006), kecerdasan berkaitan dengan membaca, tata bahasa, dan kosakata namun kecerdasan tidak berkaitan dengan kemampuan memproduksi oral. Jadi kecerdasan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pengetahuan metalinguistik dibandingkan dengan kemampuan untuk berkomunikasi.Selain itu, kecerdasan yang berbeda akan menghasilkan output yang berbeda. Howard Graners (1993) merumuskan delapan jenis kecerdasan yang selanjutnya dikenal dengan istilah multiple intelligences (MI). MI meliputi kecerdasan bahasa, kecerdasan logika/matematika, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musik, kecerdasan gerak, kecerdasan alam, kecerdasan sosial dan kecerdasan diri.
Sedangkan ketangkasan adalah kemampuan spesial yang dimiliki seseorang. Ada kepercayaan bahwa ketangkasan akan membuat seseorang mempelajari sesuatu dengan mudah dan cepat. Shekan (dalam Zafar & Meenakshi, 2012) berpendapat bahwa ketangkasan memiliki kaitan dengan kesuksesan belajar bahasa. Selain itu, ada banyak tes yang dapat digunakan untuk menguji ketangkasan, salah satunya adalah MLAT atau Modern Language Apptitude Test. Tes ini digunakan untuk memprediksi kesuksesan dalam pembelajaran bahasa asing. Tes ketangkasan tersebut digunakan untuk mengukur empat kemampuan yaitu phonemic coding ability, grammatical sensitivity, inductive language learning ability, dan memoty and learning.
3.     Cognitive-style
Menurut Ellis (1982), Cognitive-style adalah cara bagaimana orang mempersepsikan, mengonsep, mengorganisasi dan mengingat informasi. Bisa juga dikatakan bahwa cognitive-style merupakan cara berfikir seseorang (Cook, 2008). Tentunya, cara-cara ini akan mempengaruhi proses belajar bahasa karena jika kemampuan dalam mengolah informasi berbeda maka hasil yang diperoleh akan berbeda pula. Ada dua jenis cognitive-style yang diperkenalkan Witkin (1973, dalam Zafar & Meenakshi, 2012) yaitu field dependence dan field independence. Dalam field dependence, pelajar mempunyai kecenderungan lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Sedangkan pada field independence, pelajar mempunyai kecenderungan tidak mudah diperngaruhi oleh lingkungan.
Selain itu, Knowles (1972, dalam Zafar & Meenakshi, 2012) mengidentifikasi cognitive style menjadi empat, yaitu concrete learning style, analytical learning style, communicative learning style, dan authority-oriented learning style.
·      Concrete learning style
Pelajar dengan concrete learning style memproses informasi secara aktif dan langsung. Mereka lebih menyukai sesuatu yang kongret seperti pengalaman verbal atau visual.
·      Analytical learning style
Pelajar dengan analytical learning style lebih suka untuk berfikir logic dan sistematis dalam pembelajaran. Mereka suka menyelesaikan masalah dan membangun prinsip-prinsip mereka sendiri.
·      Communicative learning style
Pelajar dengan communicative learning style lebih menyukai belajar dengan menggunakan pendekatan sosial.
·      Authority-oriented learning style
Pelajar dengan Authority-oriented learning style lebih bertanggung jawab. Mereka lebih menyukai instruksi yang jelas dan mengetahui dengan pasti apa yang akan mereka ketahui selanjutnya.
4.     Motivasi
Motivasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembelajaran bahasa. Menurut Crozier (2001), siswa yang sangat termotivasi menetapkan standar yang tinggi bagi dirinya, bekerja keras untuk mencapai ini, dan tetap pada tugas bahkan ketika mereka sulit, sedangkan siswa yang kurang motivasi akan tampak menyerah dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa motivasi berperan sangat penting dalam kesuksesan proses belajar bahasa.



Gardner dan Lambert (1972, dalam Zafar & Meenakshi, 2012) memberdakan motivasi menjadi dua yaitu Integrative dan Instrumental.
·      Integrative motivation adalah motivasi yang muncul dari diri pemelajar karena ketertarikannya dengan bahasa yang dipelajarinya dan keinginanya untuk menjadi bagian dari komunitas atau budaya bahasa tersebut.
·      Instrumental motivation adalah motivasi yang muncul karena pemelajar ingin mendapatkan keuntungan dari bahasa yang dipelajari seperti mendapatkan kerja, lulus dalam tes dan lain sebagainya.
5.     Kepribadian
Kepribadian juga sangat berpengaruh pada proses belajar. Karena kepribadian seseorang akan menentukan sikap apa yang akan diambil selanjutnya dan respon apa yang akan dilakukan dalam proses belajar. Berikut ialah contoh dari kepribadian:
a.     Extrovert & Introvert
Pelajar dengan kepribadian introvert lebih senang untuk menyendiri dan menghabiskan waktunya untuk membaca, menulis, atau menggunakan komputer. Mereka menyukai ketenangan. Dalam proses pembelajaran, pelajar introvert lebih suka dengan aktivitas belajar individual dan pembelajaran yang lebih menekankan pada pengetahuan bahasa (Cook, 2008).
Lain halnya dengan pelajar introvert, kepribadian pelajar ekstrovert cenderung lebih membuka diri terhadap dunia luar. Mereka menyukai keramaian karena mereka senang berinteraksi dan melakukan aktivitas sosial. Dalam pembelajaran bahasa, pelajar extrovert lebih menyukai pembelajaran yang menggunakan pendekatan Communicative Language Teaching karena mereka dapat saling berinteraksi (Cook, 2008). Banyak yang beranggapan bahwa pelajar extrovert akan lebih sukses belajar bahasa dibandingkan dengan pelajar introvert. Hipotesis ini masih perlu diuji kebenarannya. Namun, Rossier (1975, dalam Cook, 2008) menemukan bahwa ada hubungan antara pelajar extrovert dengan kefasihan oral (oral fluency). Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh karakter dari pelajar extrovert yang senang berinteraksi sehingga kefasihannya dalam berbahasa akan menjadi semakin terlatih.
b.     Kecemasan (anxiety)
Dalam proses pembelajaran, pelajar sering merasakan kecemasan, gugup dan stress. Rasa ini akan sangat berpengaruh pada proses pembelajaran bahasa. Ada dua pendapat mengenai pengaruh kecemasan terhadap pembelajaran bahasa. Peter Macintyre (1955, dalam Lightbown & Spada, 2006) berpendapat bahwa pelajar yang merasa cemas tidak akan belajar secepat pelajar yang merasa santai. Sedangkan Lightbown & Spada (2006) beranggapan bahwa rasa cemas ketika sebelum tes atau presentasi akan memberikan motivasi dan fokus yang lebih sehinggal kesuksesan akan dicapai.  Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa rasa cemas tidak selalu memberi dampak negatif dalam proses pembelajaran bahasa.

3.      Kesimpulan
Perbedaan individu merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa. Hal ini disebabkan oleh banyaknya siswa dalam satu kelas yang tentunya akan berbeda antara satu dengan yang lain. Bagaimanapun juga perbedaan-perbedaan ini tidak bisa diubah oleh pengajar. Maka dari itu, proses pembelajaranlah yang harus menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut.
Agar proses pembelajaran bahasa berhasil maka pengajar harus mengetahui perbedaan individu dari setiap pelajarnya yang ada di dalam kelas. Bukan hanya mengetahui tetapi juga memahami. Pemahaman pengajar terhadap perbedaan ini akan memudahkannya dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sehingga proses pembelajaran akan lebih efektif dan hasilnya akan lebih optimal. Namun, pada kenyataannya, memang sulit untuk mengakomodasi semua perbedaan yang ada di dalam kelas. Ketika itulah tekad seorang pengajar akan diuji, karena pengajar yang baik adalah pengajar yang berusaha melakukan yang terbaik untuk keberhasilan pelajarnya.



Daftar Acuan
Cook, Vivian. 2008. Second Language Learning and Language Teaching 4th Edition. UK: Hodder Education
Crozier, W. R. 2001. Individual Learners: Personality differences in education. London: Routledge
Ellis, Rod. 1985. Understading Second Language Acquisition. Oxford: OUP
Gardner, H. 1993. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. USA: BasicBooks
Hurd, Stella. 2006. Individual learner differences and distance language learning: an overview. RTVU ELT Express 12 (4)
Lightbown, Patsy. dan Nina Spada. 2006. How Language are Learned 3rd Edition. Oxford: OUP

Zafar, Shahila. dan Meenakshi, K. 2012. Individual Learner Differences and Second Language Acquisition: A Review. Journal of Language Teaching and ResearchI 3(4): 639-646

Anthony Giddens dan Teori Strukturasi


A.   Pendahuluan
Anthony Giddens lahir pada tanggal 18 Januari 1938 di London. Ia menempuh pendidikan di Universitas Hull (B.A) dan di The London School of Economic (M.A) dan di Universitas Cambridge (Ph.D). Pada tahun 1961, ia menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya pertama Giddens pada tahun 1961 mengulas tentang masalah bunuh diri. Pada tahun 1969, ia menjadi dosen di Universitas Cambridge dan menjadi anggota King’s College. Bukunya pertamanya yang berjudul The Class Structure of Advanced Societies (1975) membawanya pada penghargaan international. Setelah itu, ia menerbitkan sejumlah karya teoritis penting dan ia pun semakin dikenal di dunia sebagai teoritikus sosial Inggris.
Sebagai seorang ilmuan, Giddens berpengaruh dalam teori sosiologi lebih dari dua dekade dan berperan penting dalam membentuk sosiologi Inggris pada masanya. Pada tahun 1984, karyanya yang berjudul The Constitution of Society: Outline of the Theory of Society mencapai puncaknya. Dalam buku tersebut, ia membangun perspektif teorinya sendiri yang dikenal dengan teori strukturasi. Tahun 1985, ia pun diangkat menjadi Profesor Sosiologi di Universitas Cambridge. Selain itu, Giddens merupakan pendiri dari Polity Press, sebuah perusahaan penerbitan yang sangat aktif dan berpengaruh terutama dalam teori sosiologi. Selanjutnya pada tahun 1987, Giddens menerbitkan buku ajar yang berjudul Sosiology. Buku yang ditulisnya dengan menggunakan gaya Amerika ini meraih kesuksesan yang luar biasa sehingga dijadikan buku pegangan dalam kuliah-kuliah sosiologi di berbagai universitas di dunia.
Beberapa tahun kemudian, Giddens kembali menerbitkan beberapa buku seperti Modernity and Self-Identity (1991) dan The Transformation of Intimacy (1992). Setelah itu, Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta Giddens untuk menjadi salah seorang penasihat. Pada tahun 1997, Giddens pun menjabat sebagai direktur London School of Economic. Hal ini membuktikan peranan Giddens sebagai ilmuan sangat diperhitungkan dan kredibilitasnya tidak diragukan lagi.


B.    Struktur dan Strukturasi
Teori strukturasi yang diusung oleh Anthony Giddens berlandasan pandangannya mengenai struktur. Bagi Giddens istilah struktur mengacu pada perangkat aturan dan sumber daya yang bergerak yang digunakan oleh agen untuk bertindak (Yusuf, 2014). Menurutnya, ada tiga jenis struktur dalam sistem sosial yaitu signifikasi, legitimasi dan dominasi. Pertama ialah signifikasi (penandaan). Penandaan maksudnya adalah menghasilkan makna melalui jaringan bahasa yang terstruktur seperti kode semantik, skema interpretif dan praktek diskursif (Lamsal, 2012). Dalam hal ini Giddens memperluas peran aktor untuk dapat menafsirkan dan memanipulasi bahasa terstruktur oleh makna interpretatif. Jenis yang kedua ialah legitimasi yaitu memproduksi tatan moral melalui norma-norma sosial yang telah ternaturalisasi, nilai-nilai dan standar. Yang terakhir ialah dominasi. Dominasi berfokus pada produksi kekuasaan, yang berasal dari kontrol sumber daya.
Giddens (dalam Nashir, 2012) memformulasikan konsepnya mengenai struktur, sistem dan strukturasi dalam tabel berikut ini.

Struktur
Sistem
Strukturasi
Aturan dan sumber daya atau seperangkat relasi transformasi, terorganisasi sebagai kelengkapan-kelengkapan dari sistem sosial.
Relasi-relasi yang direproduksi di antara para aktor atau kolektivitas, terorganisasi sebagai praktik-praktik sosial regular.
Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi struktur-struktur, dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu sendiri.

Suatu struktur memungkinkan keberadaan prakti-praktik sosial bersifat sistemik Dengan kelengkapan-kelengkapan struktural itu. Maka dari itu Giddens (dalam Nashir, 2012) memaknai struktur sebagai perangkat aturan dan sumber daya yang terorganisasi secara rutin, berada di luar ruang dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansiasinya dalam bentuk jejak-jejak ingatan, dan ditandai dengan ketidakhadiran subjek.

Struktur memiliki kapasistas ganda, baik mengekang maupun mendorong agensi manusia. Namun saat agen (individu/kelompok) memilik kuasa untuk memproduksi tindakan juga berarti saat melakukan reproduksi salam konteks menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan sumber daya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial sekaligus merupakan alat reproduksi sistem (dualitas struktur).
Jadi, pada dasarnya teori strukturasi lebih memusatkan perhatian kepada praktik sosial yang terus berulang yang esensinya adalah sebagai teori yang menghubungkan agen dan struktur. Maka dari itu, teori ini kebanyakan mengulas tentang agen dan struktur.

C.    Hubungan antara Agen dan Struktur
Menurut Giddens (dalam Nashir, 2012) struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Hubungan antar keduanya dapat dilihat dari peranan struktur yang berupa aturan-aturan dan peranan agen sebagai sesuatu yang diberdayakan oleh struktur dan juga dapat mendukung kelangsungan hidup struktur itu sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa peran agen sangatlah penting dalam suatu struktur. Dengan demikian, hubungan antara agen dan struktur tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya (Giddens, 1984).
Ada dua istilah yang digunakan Giddens, yaitu agen dan agensi. Agen ialah istilah yang mengacu pada individu atau kelompok yang memiliki kemampuan untuk memproduksi dan mentransformasi struktur. Sedangkan agensi ialah istilah yang digunakan Giddens mengacu pada tindakan dasar manusia dan kegiatan yang dihasilkannya (Lamsal, 2012).
Giddens (1984: 5) mengemukakan bahwa model stratifikasi agen dapat direpresentasikan melalui tiga tindakan. Tindakan-tindakannya ialah sebagai berikut:
1.     Reflexive monitoring of action
Tindakan reflektivitas monitor ialah sebuah tindakan untuk instrospeksi diri yang dilakukan terus menerus baik dengan hanya melibatkan dirinya sendiri ataupun dengan melibatkan orang lain.
2.     Rationalization of action
Tindakan rasionalisasi maksudnya ialah para aktor secara rutin mempertahankan pemahaman teoritis yang mendasari tindakan mereka.
3.     Motivation of action
Tindakan ini lebih mengacu kepada potensi dari tindakan tersebut.
Dalam teori strukturasi, Giddens (1984: 7) memaparkan bahwa ada tiga tingkatan kesadaran yang dimiliki agen. Berikut ialah tiga tingkatan kesadaran tersebut:
1.     Discursive Consciousness
Kesadaran Diskursif meliputi apa yang mampu dikatakan (eksprsi verbal) oleh para aktor tentang kondisi sosial dan tindakannya sendiri. Hal ini lebih didasari pada proses merefleksikan pengetahuan dan menjelaskan alasan dari tindakan yang dilakukan
Contoh:
Saat seoraang wanita ingin memilih pakaian, ia harus betul-betul memikirkan beberapa aspek seperti kemana ia akan pergi, kendaraan apa yang digunakan, bagaimana cuaca yang sedang berlangsung. Hal-hal tersebut mempengaruhi proses pemilihan pakaian yang akan dikenakan dan wanita tersebut mempunyai beberapa alasan untuk memilih satu pakaian yang dirasa cocok. Kesadaran yang ada pada wanita tersebut dapat dikategorikan sebagai kesadaran diskursif.
2.     Practical Consciousness
Kesadaran Praktikal mencakup apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi sosial dan tindakannya sendiri. Biasanya tindakan yang membutuhkan kesadaran praktikan adalah tindakan yang bersifat personal dan terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh:
·      Mencuci tangan sebelum makan
·      Melepaskan topi saat berada dalam ruangan
·      Membuka pintu untuk memasuki rumah yang tertutup
3.     Unconciousness motive/cognition
Motif atau kognisi tidak sadar lebih mengacu pada potensi dari tindakan para aktor. Menurut Giddens (dalam Ivonilia, 2009), motif tidak sadar dapat dijelaskan melalui tindakan yang dilakukan secara tidak sengaja.
Contoh:
Ketika A menjatuhkan suatu benda, B secara reflek mengambil benda tersebut. Tindakan B dapat dilihat sebagai tindakan dengan tidak sadar. Untuk memastikan hal itu, diperlukan konfirmasi ulang terhadap B akan tindakan yang dilakukannya.

D.   Kritik terhadap Teori Strukturasi
Teori strukturasi ini tidak lepas dari kritik-kritik para ahli. Berikut ialah kritik dari Byrand dan Jary (2001) dan Ian Craid (1992):
1.     Byrand dan Jary (2001, dalam Yusuf 2014) berpendapat bahwa teori strukturasi Giddens terlalu abstrak dan kurang jelas. Dalam kritiknya, mereka menyarankan empat hal yang harus dilakukan agar teori ini menjadi riset empiris. Keempat hal tersebut ialah sebagai berikut
a.     Fokus pada penataan-penataan lembaga lintas waktu dan ruang.
b.     Perubahan-perubahan pada lembaga harus menjadi perhatian sentral dalam rentang sejarah (dalam ruang-waktu).
c.     Para peneliti harus lebih peka terhadap cara-cara yang digunakan para pemimpin lembaga untuk mengganggu dan mengubah pola-pola sosial.
d.     Para strukturasionis harus peka memperhatikan dan peka terhadap temuan-temuan dunia sosial.
2.     Ian Craib (1992, dalam Yusuf, 2014) juga mengkritik teori strukturasi. Dari semua kritik yang ada, kritik dari Crain ini lah yang paling sistemasis. Berikut adalah kritiknya:
a.     Secara ontologis, pemikiran Giddens kurang mendalam.
b.     Upaya Giddens untuk mensistesiskan teori tidak mempertautkan dengan baik kompleksitas dunia sosial.
c.     Giddens kurang memiliki dasar yang cukup untuk analisis kritis terhadap masyarakat modern.
d.     Teori Giddens yang eklektis itu membuat tumpukan potongan-potongan dan pecahan teoritis yang tidak dipersatukan dengan baik.

E.    Penutup
Teori strukrutasi Giddens merupakan teori eklektik yang menggabungkan beberapa teori seperi strukturalisme, fungsionalisme, marxisme, hermeneutika, dan fenomenologi. Selain itu, teori ini juga merupakan upaya yang dilakukan Giddens untuk menggabungkan agen dan struktur. Tidak dipungkiri bahwa konsep Giddens mengenai strukturasi terkadang terbilang rumit. Apalagi jika pembahasannya masuk pada konsep agen, agensi, struktur, sistem, sumber daya dan kekuasaan. Akan tetapi konsep dari teori strukturasi ini memberikan pandangan baru bahwa kekuasaan tidak sepenuhnya milik struktur, ada kalanya agen juga memegang kekuasaan atas struktur.

Daftar Acuan
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Cambridge : Polity Press
Ivonilia. 2009. Gerakan 3R dalam Pengelolaan Sumpah di Jepang sebagai Praktik sosial: Analisis dari Teori Strukturasi Giddens. Depok: FIB UI
Lamsal, Mukunda. 2012. The Structuration Approach of Anthony Giddens. Himalayan Journal of Sociology & Antropplogi. Vol. 5
Nashir, Haerdar. 2012.  Memahami Strukturasi Dalam Perspektif Sosiologi Giddens. Yogyakarta: Universitas Yogyakarta. Page 1-9.

Yusuf, Akhyar. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers