Saturday, June 20, 2015

“Ranah-Ranah Kebudayaan

MEMBACA ADALAH TUGAS MENAFSIR
Mudji Sutrisno

Menurut Gadamer (1980), membaca sama dengan menafsir. Kata “menafsir” atau “menafsirkan” dalam KBBI memiliki arti menangkap maksud perkataan (kalimat dsb) tidak menurut apa adanya saja, melainkan diterapkan juga apa yang tersirat. Jadi, penafsir diharapkan dapat menangkap makna awal/asli yang terkandung dalam wacana yang dibacanya baik itu makna tersurat maupun tersirat.
Dalam proses membaca, terdapat dua macam pendekatan; pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Dalam pendekatan intrinsik, makna teks dibaca melalui kode sastra seperti tema, penokohan, dan alur kisah dalam novel. Sedangkan pendekatan ekstrinsik lebih melihat makna melalui ilmu-ilmu diluar sastra seperti menggunakan ilmu sosiologi ataupun psikologi. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan yang dimiliki pembaca dalam menafsirkan suatu wacana. Apakah pembaca ingin mencari makna yang sebenarnya atau mencari kepentingan ideologis dari suatu wacana?
Pada dasarnya, penafsiran terjadi melalui bahasa. Ada dua jenis bahasa, yaitu: bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa tulis muncul setelah bahasa lisan. Dalam hal ini, bahasa harus dilihat sebagai kode tanda yang telah disepakati maknanya. Jadi, untuk mempermudah proses penafsiran dalam membaca suatu wacana atau teks, perlu disadari bahwa membaca bahasa sama seperti memahami sistem tanda bermakna. Walaupun demikian, menafsirkan suatu wacana ataupun teks bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Pembaca (penafsir) memilik kehidupan budaya sendiri yang sedikit banyak akan mempengaruhi hasil penafsirannya. Maka dari itu, ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh seorang pembaca (penafsir) dalam memaknai suatu wacana ataupum teks. Tahapan-tahapannya ialah sebagai berikut:
1.     Tahap Pertama
Pada tahap ini, pembaca (penafsir) harus masuk dari dalam dan hidup didalamnya (kebudayaan sasaran) termasuk memahami bahasa dan simbol-simbolnya untuk membaca hati dari kebudayaan tersebut.
2.     Tahap Kedua
Dalam tahap ini, perlu pemahaman dan pengenalan yang bersifat tidak hanya rasional tetapi juga intuitif agar local knowledge dapat dipahami lebih dalam.
3.     Tahap Ketiga
Pembaca harus memahami sistem organisasi masyarakat secara berjenjang. Sehingga, peraturan-peraturan untuk menjaga kedamaian dan rasa saling menghormati dapat terlihat.
4.     Tahap Keempat
Untuk menafsirkan bacaan kebudayaan perlu adanya nilai dan pemahaman estetis, religius dan etis. Pada tahap ini, pembaca (penafsir) harus memahami kebudayaan masyarakat tersebut secara menyeluruh meliputi tarian, nyanyian, musik, maupun dalam susastra seperti puisi dan kisah legenda.
5.     Tahap Kelima
Dalam tahap ini, kebudayaan harus dibaca dari norma, aturan tingkah laku, pantangan, tabu, dan ritual-ritual yang ada.
Dengan kata lain, dapat disampaikan bahwa memahami suatu kebudayaan adalah bukan suatu proses yang instan. Diperlukan banyak waktu untuk benar-benar mengenal dan memahaminya secara menyeluruh dan utuh. Ini adalah suatu dinamika bagi para pembaca (penafsir) lintas budaya untuk mengenal kebudayaan lain dengan baik selain kebudayaannya sendiri agar makna yang ditafsirkan sesuai dengan makna asli pengarang atau setidaknya dekat dengan makna yang dimaksudkan pengarang. Selain itu, mengenal kebudayaan lain ialah harga mati bagi para pembaca (penafsir) mengingat bangsa Indonesia memiliki keragaman budaya serta agama. Jadi, tugas menafsirkan ini perlu dilakukan secara dinamis dan didasari atas bingkai peradaban guna menghindari perebutan kepentingan yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa.
Komentar Pribadi
            Membaca merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat baik hanya sekedar untuk hiburan maupun untuk menambah wawasan. Namun, tidak semua orang sadar bahwa membaca adalah menafsirkan. Menafsirkan makna yang dibangun pengarang sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik. Hal ini menarik untuk diperbincangkan karena setiap orang atau pembaca diperngaruhi oleh relativitas budaya. Jadi, setiap orang yang menafsirkan suatu wacana atau teks akan memiliki penafsiran yang berbeda.
Untuk memahami wacana ataupun teks, pembaca perlu memahani kebudayaan dari si pengarang. Jika tidak, makna yang diterima olah pembaca tidak akan sama dengan makna yang ingin disampaikan pengarang. Sebagai contoh adalah kata “merantau” dalam cerita suku Padang. Merantau bagi orang Padang merupakan tradisi yang dijutukan pada kaum laki-laki dewasa sebagai sarana untuk membuktikan eksistensinya. Namun bagi orang Jawa, merantau dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Jika tidak mengenal budaya merantau, pembaca yang membaca cerita tersebut akan salah menafsirkan cerita tersebut dan menganggap ibu yang memerintah anaknya untuk merantau dianggap kejam dan tega. Padahal, sang ibu sangat sayang kepada anaknya. Ia melakukan hal tersebut agar anaknya dapat membuktikan keeksistensiannya sebagai seorang laki-laki dewasa.
Untuk memahami berbagai kebudayaan secara menyeluruh memang tidaklah mudah mengingat bangsa Indonesia kaya akan kebudayaan. Namun mempelajari kebudayaan lain selain kebudayaan sendiri ialah wajib. Sebagai manusia yang beradab marilah kita melihat keragaman ini bukan sebagai perbedaan yang dapat menimbulkan kericuhan melainkan sebagai pelengkap karena sesungguhnya perbedaan itu ada untuk saling mengisi.

Referensi

Sutrisno, Mudji. 2009.  Ranah-Ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius

No comments:

Post a Comment