MERETAS RANAH: BAHASA,
SEMIOTIKA, DAN BUDAYA
Okke Kusuma Sumantri Zaimar
Ronald Barthes
mengenalkan istilah “mitos” dalam ruang lingkup budaya. Mitos yang dimaksud
Barthes adalah bukan mitos yang selama ini kita ketahui yang selalu identik
dengan hal-hal yang berbau misteri dan sulit untuk dibuktikan kebenarannya
karena mitos sudah diwariskan secara turun menurun. Di sini, istilah “mitos”
yang digunakan Barthes merujuk kepada sistem komunikasi untuk membawa pesan.
Pesan yang disampaikan bisa dalam bentuk verbal maupun non-verbal. Dalam mitos
yang berbahasa verbal, hubungan antarunsur cenderung bersifat linear. Sedangkan
dalam mitos visual, hubungan tersebut bersifat multidimensi. Untuk memahami
sebuah mitos diperlukan pengetahuan tentang teori signifikasi (penanda dan
petanda). Pada tahap pertama, Barthes menjelaskan bahwa dalam sebuah bahasa pada tahap pertama ada
hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) yang menghasilkan
tanda. Selanjutnya pada tahap kedua, tanda hasil dari relasi tahap pertama ini
berubah menjadi penanda pada tahap kedua. Penanda ini akan mempunyai hubungan
lagi dengan petanda lain yang akan menghasilkan tanda baru. Tanda pada tahap
kedua ini lah yang dimaksud Barthes dengan “Mitos” atau yang disebut juga
sebagai meta bahasa.
Mitos selalu menampilkan analogi
bentuk atau makna. Oleh karena itu, mitos erat kaitannya dengan ideologi. Apa
yang di maksud dengan ideologi? Ideologi ialah keseluruhan gagasan,
kepercayaan, dan doktrin milik suatu zaman, suatu kelompok atau suatu kelas
dalam masyarakat. Jika definisi tersebut dikaji lebih dalam, maka akan muncul
kesimpulan bahwa ideologi adalah bagian dari kebudayaan (Van Zoest, 1993).
Barthes menjabarkan bahwa ada 3 cara
berbeda untuk membaca mitos. Berikut ialah 3 cara berbeda untuk membaca mitos:
1.
Pembaca
menyesuaikan diri dengan penanda yang kosong, ia membiarkan konsep mengisi
bentuk tanpa ambiguitas, dan ia akan berhadapan dengan sistem yang sederhana.
Pemaknaan yang terjadi bersifat harfiah.
2.
Apabila pembaca
menyesuaikan diri dengan penanda yang penuh, artinya telah ada bentuk dan arti
disitu, dan mulai dari deformasi yang terjadi pada pemaknaan tahap ke-2, ia
mengungkapkan signifikasi mitos. Di sini si pembaca berlaku sebagai ahli mitos,
ia menganalisa mitos, ia memahami adanya deformasi.
3.
Saat pembaca
menyesuaikan diri dengan penanda mitos yang terdiri dari bentuk yang sudah
betul-betul menyatu dengan arti, ia mendapati makna yang ambigu, ia mengikuti
mekanisme pembentukan mitos, dan mengikuti sifatnya yang dinamis.
Berkaitan dengan
ideologi, iklan atau yang juga dikenal dengan kata “pariwara” mengandung
ideologi yang tersirat. Ideologi ini akan tersebar luas ke masyarakat.
Penyebaran ideologi tersebut harus berhasil karena akan muncul resiko jika
tidak berhasil, yaitu: penjualan produk yang kurang baik dan iklan tersebut
akan dihentikan. Contohnya adalah sebagai berikut:
a.
Ideologi dalam
iklan sabun cuci surf
Ideologi yang ingin disampaikan dalam iklan ini ialah
bahwa produk yang mereka jual memiliki kualitas yang tinggi dan berharga murah.
Ideologi ini ditampilkan secara implisit dengan cara membandingkan barang lain
(bukan produk, misal: antara Kristan dan Anggrek). Namun pada dasarnya
perbandingan itu merujuk pada produk iklan tersebut.
b.
Ideologi dalam
iklan Sampoerna
Ideologi yang ingin disampaikan dalam iklan ini agak
sedikit kompleks karena analogi yang digunakan sangat banyak mengingat ada
batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilalui oleh iklan ini. Ideologi yang
pertama ialah rokok Sampoerna miliki kandungan tar yang rendah. Selanjutnya,
orang yang memilih rokok Sampoerna selalu terdepan dan akan menjadi panutan
bagi orang lain. Yang terakhir ialah tidak ada batas-batas strata sosial untuk
membeli rokok tersebut.
Komentar
Iklan,
media penyampai pesan, merupakan salah satu contoh mitos verbal dan non-verbal
yang kerap kali menjadi wadah untuk menyebarkan ideologi. Dewasa ini, para
produsen dan pembuat iklan menyisipkan ideology-ideologi mereka dalam sebuah
iklan secara implisit dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan tertentu.
Sebenarnya, ideologi ialah
pandangan, gagasan, atau pemikiran yang dianggap benar oleh suatu
kaum/komunitas (Hoed, 2014). Jadi, ideologi pada iklan tidak sepenuhnya benar.
Untuk mengkaji
sebuah iklan dan melihat ideologi apa yang terdapat dalamnya, kita perlu
melihatnya dari berbagai sudut pandang. Bukan hanya sebagai konsumen, tetapi
juga sebagai pemroduksi iklan dan alhi mitos. Sehingga, ideologi yang
disimpulkan akan cenderung bersifat objektif walau tidak sepenuhnya objektif.
Referensi
Hoed,
Benny. H. 2014. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Edisi III: Jakarta: Komunitas Bambu.
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2001.”Ideologi dalam
Pariwara Televisi” dalam Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya. Ida
Sundari Husen dan Rahayu Hidayat (Eds.). Yogyakarta: Bentang
No comments:
Post a Comment