Secara umum, kebudayaan adalah hasil
akal dan daya manusia. Namun, kita juga bisa melihat kebudayaan sebagai sistem
tanda. Menurut Pierce, tanda adalah sesuatu merujuk pada makna tertentu. Ia
membedakan tiga tanda yang berkaitan dengan objek (hal yang dirujuk), yaitu
indeks, ikon, dan lambang. Indeks adalah tanda yang hubungan representamen
(semua gejala) dengan objeknya (pemaknaannya) bersifat langsung. Ikon adalah
tanda yang representamennya berupa identitas objek yang dirujuk. Lambang adalah
tanda yang hubungan representamen dengan objeknya didasari konvensi. Konvensi
yang dimaksud ialah berdasarkan kesepakatan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Lambang merupakan jenis tanda yang paling erat kaitannya dengan kebudayaan
suatu masyarakat karena mereka yang tidak ikut serta dalam konvensi sosial tersebut dan tidak termasuk dalam lingkungan
budaya yang bersangkutan, tidak akan memahami makna dari gejala budaya yang
timbul. Contohnya, bendera kuning bagi masyarakat jawa merupakan pertanda bahwa
ada orang meninggal. Sedangkan bagi masyarakat medan, simbol untuk orang
meninggal ialah bendera merah. Bendera tersebut merupakan lambang yang didasari
atas kesepakatan bersama (konvensi sosial) memiliki makna ada orang meninggal.
Jadi, bagi masyarakat medan yang datang ke komunitas masyarakat jawa tidak akan
memahami makna dari bendera kuning tersebut.
Ilmu yang mempelajari tanda dinamakan
Semiotik. Pierce menyatakan bahwa tanda terjadi karena proses semiosis.
Semiosis adalah proses pemaknaan tanda dari representamen, objek, dan
interpretan (menafsirkan terkait dengan situasi tempat kita berada). Proses
semiosis ini terjadi sangat cepat dalam pikiran kita. Pierce pun berpendapat
bahwa tanda adalah sebuat opera aperta (karya yang terbuka). Maksudnya adalah
suatu tanda dapat difahami dan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap
orang dan bahkan akan ditafsirkan berbeda oleh orang yang sama tetapi dalam
situasi dan kondisi yang berbeda.
Berkaitan dengan iklan, kita dapat
melihat iklan sebagai kebudayaan karena didalamnya terdapat sejumlah pemikiran,
kesenian dan teknologi. Dalam proses pembuatannya, para produsen dan pemroduksi
iklan harus memahami dan perhatikan etik dengan baik karena etik jelas sangat
penting dalam periklanan. Jangan sampai iklan yang diedarkan memiliki
unsur-unsur yang merugikan masyarakat karena akibatnya akan merusak moral dan
martabat masyarakat itu sendiri. Dalam bab ini, iklan akan dikaji sebagai
lambang karena hubungan representamen dengan objeknya didasari pada konvensi
sosial. Konvensi pada iklan biasanya merupakan hasil sesuatu yang disugestikan
melalui positioning.
Iklan berfungsi untuk memperkenalkan
barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat. Tujuan iklan sendiri ialah
untuk mendapatkan kepercayaan pada produk yang diiklankan. Pada tahun 50-an,
iklan sifatnya masih menjajakan, namun sekarang iklan sudah berupaya untuk
mengajak calon pembeli untuk memasuki suatu kelompok tertentu. Jadi, yang mereka
lakukan bukan lagi mempromosikan suatu produk untuk dibeli, tetapi juga
mengajak calon pembeli untuk masuk komunitas pemakai produk tersebut. Gelaja
ini disebut dengan gejala totemisme. Istilah totem memiliki arti sebagai tanda
yang dirujuk untuk “pengikat” oleh suatu komunitas atau suku. Totem adalah
unsur budaya yang ada dalam masyarakat promitif yang biasa berbentuk patung
hewan atau tanaman yang terbuat dari kayu yang diukir. Fungsi totem ini adalah
sebagai tanda bagi suatu keluarga atau suku yang biasanya sebagai peringatan
akan asal-usul suku atau nenek moyang keluarga suku tersebut. Sedangkan
totenisme ialah sistem kepercayaan pada totem sebagai rujukan suatu ikatan
spiritual. Jadi, yang dimaksud dengan
gejala totemisme dalam iklah adalah gejala dimana produk atau merek
produk diperlakukan sebagai lambang untuk mempercayai suatu komunitas.
Contohnya, pada iklan margarin yang mengajak anak-anak menjadi Giman. Giman
adalah salah satu tokoh pada iklan tersebut yang selalu berhasil karena memakan
roti dengan margarin bergizi tinggi. Giman ini selanjutnya menjadi totem yang
dimaksudkan agar anak-anak masuk dalam komunitas anak seperti Giman yang sehat
dan selalu berhasil. Contoh berikutnya ialah iklan sabun mandi yang digunakan
oleh sembilan dari sepuluh selebritas. Kehadiran atau rujukan pada para
selebritas ini dijadikan alat untuk membentuk totem. Iklan ini berupaya
mengajak calon pembeli untuk masuk pada komunitas pengguna sabun mandi yang
terdiri dari para selebritas tersebut. Produk atau merek produk yang
diperlakukan sebagai lambang suatu komunitas inilah yang dimaksud dengan
totemisme.
Ada banyak iklan yang memanfaatkan
unsur modernitas dalam masyarakat. Seperti menggunakan kata “new” untuk menarik
perhatian calon pembeli. Modernitas disini, kita lihat sebagai sesuati yang
dinamis, yakni gejala budaya yang dapat menimbulkan proses pembaruan melalui
transformasi budaya. Jadi, ada upaya yang dilakukan untuk meninggalkan tradisi
yang lama untuk melakukan sesuatu yang baru. Dengan demikian iklan dapat mengubah
nilai yang sudah berlaku dalam masyarakat, yakni pendapat tentang baik-buruk,
kuno-trendi dan lain sebagainya. Upaya ini tentu saja tidaklah buruk jika
mengarah pada hal-hal yang positif.
Pada akhirnya iklan dijadikan sebagai
alat pentransformasian kebudayaan karena dapat mengubah nilai-nilai yang ada.
Perubahan nilai ini diharapkan tidak merugikan masyarakat. Perubahan nilai ke
arah negatif akan berdampak buruk dan menimbulkan ekslusivisme dan
konsumerisme. Maka dari itu, produsen dan pemroduksi iklan diharapkan dapat
membuat iklan yang sedemikian rupa dengan memperhatikan etik yang berlaku dan
jangan sampai membangun totem yang mengarah pada konsumerisme.
Komentar
Pada
umumnya, iklan ialah suatu yang mendeskripsikan sebuah produk sedemikian rupa
sehingga calon pembeli yang melihat tertarik
untuk membeli produk tersebut. Iklan pun bisa dilihat sebagai tanda yang
merujuk sesuatu produk. Di sini, para pemroduksi iklan, terutama copy writer,
mencoba mengembangkan bahasa yang terdapat dalam iklan semenarik mungkin agar
produk yang ditawarkan laku keras. Banyak cara yang dilakukan, salah satunya
ialah dengan memanfaatkan modernitas. Para calon pembeli biasanya lebih
tertarik pada sesuatu yang baru. Hal ini sangat dimanfaatkan copy writer dalam
dunia periklanan. Terutama jika sasaran mereka ialah masyarakat pedesaan yang
melihat sosok modernitas sebagai ciri dari masyarakat perkotaan.
Gejala
totemisme dalam iklan ini memang sangat menarik untuk dibahas karena
gejala-gejala seperti ini benar-benar terjadi di sekitar kita. Misalnya, dalam
iklan shampoo “used by professionals”, iklan shampoo tersebut membentuk totem
bahwa shampoo tersebut digunakan oleh para professional. Jika anda ingin
memiliki rambut indah seperti para professional, gunakanlah shampoo ini dan
bergabunglah dengan para professional pengguna shampoo ini. Seperti itulah
totem yang terentuk dari iklan shampoo tersebut. Totemisme ini bisa berdampak
buruk bagi masyarakat. Mereka akan memiliki sifat boros karena tergiur ingin
memasuki komunitas pengguna produk tertentu. Lebih parahnya lagi, ada
segelintir orang yang akan berpendapat bahwa jika memasuki komunitas tertentu
akan terlihat “keren” dan “gaul”. Hal inilah yang perlu disadari betul oleh
masyarakat agar mereka tidak membeli sebuah produk karena konotasinya tetapi
memang betul-betul membeli produk karena sesuai dengan kebutuhannya. Bagaimana
pun juga tujuan iklan ialah hanya untuk memasarkan sebuah produk tetapi pada
akhirnya konsumen (masyarakat) lah yang berhak memilih.
Referensi
Hoed, Benny. H. 2014.
Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Edisi III: Jakarta: Komunitas Bambu
No comments:
Post a Comment