MEMBACA ADALAH TUGAS MENAFSIR
Mudji Sutrisno
Menurut Gadamer
(1980), membaca sama dengan menafsir. Kata “menafsir” atau “menafsirkan” dalam
KBBI memiliki arti menangkap maksud perkataan (kalimat dsb) tidak menurut apa
adanya saja, melainkan diterapkan juga apa yang tersirat. Jadi, penafsir diharapkan
dapat menangkap makna awal/asli yang terkandung dalam wacana yang dibacanya
baik itu makna tersurat maupun tersirat.
Dalam proses
membaca, terdapat dua macam pendekatan; pendekatan intrinsik dan pendekatan
ekstrinsik. Dalam pendekatan intrinsik, makna teks dibaca melalui kode sastra
seperti tema, penokohan, dan alur kisah dalam novel. Sedangkan pendekatan
ekstrinsik lebih melihat makna melalui ilmu-ilmu diluar sastra seperti menggunakan
ilmu sosiologi ataupun psikologi. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan yang
dimiliki pembaca dalam menafsirkan suatu wacana. Apakah pembaca ingin mencari
makna yang sebenarnya atau mencari kepentingan ideologis dari suatu wacana?
Pada dasarnya, penafsiran
terjadi melalui bahasa. Ada dua jenis bahasa, yaitu: bahasa tulis dan bahasa
lisan. Bahasa tulis muncul setelah bahasa lisan. Dalam hal ini, bahasa harus
dilihat sebagai kode tanda yang telah disepakati maknanya. Jadi, untuk
mempermudah proses penafsiran dalam membaca suatu wacana atau teks, perlu
disadari bahwa membaca bahasa sama seperti memahami sistem tanda bermakna.
Walaupun demikian, menafsirkan suatu wacana ataupun teks bukanlah hal yang
mudah seperti membalikkan telapak tangan. Pembaca (penafsir) memilik kehidupan
budaya sendiri yang sedikit banyak akan mempengaruhi hasil penafsirannya. Maka
dari itu, ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh seorang pembaca
(penafsir) dalam memaknai suatu wacana ataupum teks. Tahapan-tahapannya
ialah sebagai berikut:
1.
Tahap Pertama
Pada tahap ini, pembaca (penafsir) harus masuk dari dalam
dan hidup didalamnya (kebudayaan sasaran) termasuk memahami bahasa dan
simbol-simbolnya untuk membaca hati dari kebudayaan tersebut.
2.
Tahap Kedua
Dalam tahap ini, perlu pemahaman dan pengenalan yang
bersifat tidak hanya rasional tetapi juga intuitif agar local knowledge dapat dipahami lebih dalam.
3.
Tahap Ketiga
Pembaca harus memahami sistem organisasi masyarakat
secara berjenjang. Sehingga, peraturan-peraturan untuk menjaga kedamaian dan
rasa saling menghormati dapat terlihat.
4.
Tahap Keempat
Untuk menafsirkan bacaan kebudayaan perlu adanya nilai
dan pemahaman estetis, religius dan etis. Pada tahap ini, pembaca (penafsir)
harus memahami kebudayaan masyarakat tersebut secara menyeluruh meliputi
tarian, nyanyian, musik, maupun dalam susastra seperti puisi dan kisah legenda.
5.
Tahap Kelima
Dalam tahap ini, kebudayaan harus dibaca dari norma,
aturan tingkah laku, pantangan, tabu, dan ritual-ritual yang ada.
Dengan kata lain,
dapat disampaikan bahwa memahami suatu kebudayaan adalah bukan suatu proses
yang instan. Diperlukan banyak waktu untuk benar-benar mengenal dan memahaminya
secara menyeluruh dan utuh. Ini adalah suatu dinamika bagi para pembaca
(penafsir) lintas budaya untuk mengenal kebudayaan lain dengan baik selain
kebudayaannya sendiri agar makna yang ditafsirkan sesuai dengan makna asli
pengarang atau setidaknya dekat dengan makna yang dimaksudkan pengarang. Selain
itu, mengenal kebudayaan lain ialah harga mati bagi para pembaca (penafsir) mengingat
bangsa Indonesia memiliki keragaman budaya serta agama. Jadi, tugas menafsirkan
ini perlu dilakukan secara dinamis dan didasari atas bingkai peradaban guna
menghindari perebutan kepentingan yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa.
Komentar Pribadi
Membaca
merupakan kegiatan yang sangat bermanfaat baik hanya sekedar untuk hiburan
maupun untuk menambah wawasan. Namun, tidak semua orang sadar bahwa membaca
adalah menafsirkan. Menafsirkan makna yang dibangun pengarang sehingga pesan
yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik. Hal ini menarik untuk
diperbincangkan karena setiap orang atau pembaca diperngaruhi oleh relativitas
budaya. Jadi, setiap orang yang menafsirkan suatu wacana atau teks akan memiliki
penafsiran yang berbeda.
Untuk memahami wacana ataupun teks,
pembaca perlu memahani kebudayaan dari si pengarang. Jika tidak, makna yang
diterima olah pembaca tidak akan sama dengan makna yang ingin disampaikan
pengarang. Sebagai contoh adalah kata “merantau” dalam cerita suku Padang.
Merantau bagi orang Padang merupakan tradisi yang dijutukan pada kaum laki-laki
dewasa sebagai sarana untuk membuktikan eksistensinya. Namun bagi orang Jawa,
merantau dapat dilakukan oleh pria maupun wanita. Jika tidak mengenal budaya
merantau, pembaca yang membaca cerita tersebut akan salah menafsirkan cerita
tersebut dan menganggap ibu yang memerintah anaknya untuk merantau dianggap
kejam dan tega. Padahal, sang ibu sangat sayang kepada anaknya. Ia melakukan
hal tersebut agar anaknya dapat membuktikan keeksistensiannya sebagai seorang
laki-laki dewasa.
Untuk memahami berbagai kebudayaan
secara menyeluruh memang tidaklah mudah mengingat bangsa Indonesia kaya akan
kebudayaan. Namun mempelajari kebudayaan lain selain kebudayaan sendiri ialah
wajib. Sebagai manusia yang beradab marilah kita melihat keragaman ini bukan
sebagai perbedaan yang dapat menimbulkan kericuhan melainkan sebagai pelengkap
karena sesungguhnya perbedaan itu ada untuk saling mengisi.
Referensi
Sutrisno, Mudji. 2009. Ranah-Ranah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
No comments:
Post a Comment